Pertentangan Sosial Dan Integrasi Masyarakat

| |
Adat dan Budaya Konflik Kepentingan Beraroma Ekonomi

FENOMENA yang berkembang dalam masyarakat Bali setahun lewat adalah tingginya intensitas konflik sosial dalam masyarakat, serta mulai dipertanyakannya otoritas lembaga-lembaga adat (tradisional) dalam menangani masalah sosial budaya dalam masyarakat Bali. Ada berbagai ketidakberaturan, ketidakpastian yang mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai akibat dari lemahnya daya pengendalian. Masyarakat Hindu di Bali saat ini rupanya sedang gamang atau berada dalam masa transisi. Fenomena menunjukkan bahwa masyarakat Bali sedang bergerak dari masyarakat agraris dengan budaya ekspresif menuju masyarakat jasa dengan budaya progresif. Masyarakat yang berada pada masa transisi dari tradisional ke modern ini, seringkali memunculkan persoalan yang tidak kalah rumitnya.

Menurut analisis Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, nilai-nilai baru yang berasal dari dunia luar telah merasuk ke dalam kehidupan masyarakat Bali, sehingga antara nilai tradisional yang menjadi identitas masyarakat Bali, kini bergejolak dengan nilai-nilai modern, yang memungkinkan terjadinya kontradiksi bahkan dapat melahirkan konflik.
Bila dicermati konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat, menurut Dr. I Wayan Budi Utama, M.Si., sesungguhnya disebabkan oleh konflik kelompok kepentingan yang beraroma masalah ekonomi. Adanya pergeseran dari pola pikir masyarakat komunal ke masyarakat yang individual cenderung mengarah pada penggunaan kapital sebagai norma-norma sosial. Batas wilayah desa yang hanya sebatang pohon besar atau sebuah parit kecil sebelumnya tidak menjadi persoalan, namun manakala di batas wilayah itu telah dibangun fasilitas untuk kegiatan ekonomi maka hal ini bisa menjadi pemicu terjadinya konflik. Pemekaran desa adat yang jumlahnya tiap tahun makin bertambah dapat diduga dipicu oleh adanya dana pembinaan desa adat yang dikucurkan oleh penguasa. Distribusi kekuasaan dan ''kue pembangunan'' yang kurang merata dapat menjadi pemicu terjadinya konflik.
Dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) ini menambahkan, secara fisik masyarakat Bali tampak modern namun dalam kehidupan mental dan alam pikiran masih tradisional. Tradisi lama belum ditinggalkan, sementara pola pikir modern belum dikuasai, atau dengan kata lain masyarakat berdiri dalam kondisi satu kaki pada tahap teologis sementara kaki yang lainnya ada pada tahap positifis.
Budi Utama menilai arus keluar-masuk orang dari dan ke Bali telah menyebabkan sifat-sifat Bali mengalami perubahan tidak lagi seperti bentuk aslinya, walaupun perubahan itu bisa jadi bermakna suatu kemajuan dalam bidang kebudayaan. Sejalan dengan arus komunikasi tersebut, unsur-unsur kebudayaan Bali pun kemudian bukan hanya mengalami penyesuaian, tetapi dengan mudah dapat ditemukan di berbagai tempat di luar batas-batas geografis Bali. Dalam proses integrasi ke suatu tatanan global tersebut, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang yang bersifat deterministik. Oleh karenanya ekspresi simbolik dari kebudayaan Bali tidak selalu merupakan pernyataan dari suatu kosmologi atau nilai yang sama, karena pusat orientasi mulai terbentuk secara polisentrik, tidak lagi terkonsentrasi pada satu titik. Gejala ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu dekonstruksi dari hubungan-hubungan kekuasaan tradisional dalam suatu masyarakat.
Dalam situasi demikian, menurut Nyoman Sirtha, desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat adat berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan warga masyarakat. Oleh karena itu, desa pakraman yang merupakan lembaga adat diberdayakan dan dilestarikan, serta dikembangkan sebagai wadah bagi warga untuk melaksanakan berbagai aktivitas kehidupannya.
Guru Besar Fakultas Hukum Unud ini menambahkan, pemberdayaan lembaga adat dimaksudkan agar kondisi dan keberadaannya dapat lestari dan makin kukuh, sehingga menjadi wadah bagi warga masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan tingkat kemajuan dan perkembangan zaman. Pelestarian lembaga adat berupaya untuk menjaga dan memelihara nilai-nilai budaya, terutama nilai-nilai etika, moral, dan adab yang merupakan inti dari lembaga adat agar keberadaannya tetap lestari.
Sirtha berpandangan, awig-awig yang menjadi pedoman berperilaku bagi warga masyarakat, substansinya harus sesuai dengan perkembangan zaman. Prajuru desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa seyogianya bertindak tegas, dan konsekuen melaksanakan awig-awig. Oleh karena itu, prajuru desa mempunyai peranan penting dalam mengayomi warganya untuk mewujudkan ketertiban dan ketenteraman masyarakat.

Kehilangan Horizon Spiritual


MASYARAKAT Bali seakan kehilangan horizon spiritual dalam menjalani kehidupannya. Kondisi ini bisa terjadi karena masyarakat modern melihat segala sesuatu hanya dari sudut pandang pinggiran eksistensi, tidak pada ''pusat spiritualitas dirinya''. Sehingga mengakibatkan dia ''lupa'' siapa dirinya. Penilaian ini disampaikan Dr. I Wayan Budi Utama, M.Si.
Menurutnya, perhatian yang lebih terpusat pada dunia materi memang telah memberikan kemajuan yang sangat mengangumkan, tetapi secara kualitatif dan keseluruhan tujuan hidupnya ternyata sangat dangkal. Dekadensi atau kejatuhan manusia saat ini telah kehilangan pengetahuan tentang dirinya, dan menjadi sangat tergantung pada pengetahuan eksternal, yang tak langsung berhubungan dengan dirinya.
Kecenderungan ini terjadi karena proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan sekularisasi kesadaran dan memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain kehidupan para pemeluknya, sehingga menimbulkan ketidakberartian pada diri manusia modern. Hal-hal sakral yang berfungsi sebagai faktor sublimasi dan penguatan eksistensi manusia, digantikan oleh hal-hal yang serba rasional, sehingga terjadilah dekonstruksi transendensi kognisi manusia atau dengan istilah sekularisasi alam batin masyarakat.
Dalam pandangan dosen Unhi ini, sebagai anggota masyarakat adat di tengah kompleksitas kehidupan saat ini, hal yang bisa dilakukan adalah membangun modal sosial melalui keluarga yang kemudian bisa meluas. Modal sosial (social capital) adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka. Membangun modal sosial secara substantif paling tidak harus memasukkan nilai-nilai seperti kejujuran, pemenuhan tugas, dan kesediaan untuk saling menolong. Keluarga merupakan sumber yang sangat penting dari modal sosial. Jika para anggota kelompok mengharapkan bahwa anggota-anggota yang lain akan berperilaku jujur dan terpercaya, maka mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya kelompok atau organisasi lebih efisien.
Ia menambahkan, tumbuh kembangnya modal sosial dalam keluarga menjadi sesuatu yang sangat vital di tengah meningkatnya individualisme.
 
REFERENSI :
http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=10&id=60290

0 komentar:

Posting Komentar